Wednesday 30 September 2015

Antara Cok Simbara, Abidinsyah, dan Pilkada Banjar

TERUS terang, secara pribadi, saya tak mengenal pria ini. Saya pun tidak terlalu peduli dengan baliho yang memampang fotonya. Mengenakan kemeja biru, rapi dan berpeci. Reklame berukuran besar ini muncul di momen tertentu. Biasanya di hari besar keagamaan, HUT kemerdekaan, hari jadi daerah, dan momen peringatan lainnya. Bersamanya ada ucapan-ucapan selamat dan kata bijak yang terkait dengan momen yang menjadi alasan iklan itu di pasang.

Lokasi pemasangannya selalu sama, di dekat jembatan Sungai Pering, pojok terminal Pasar Belauran Martapura, Bundaran Km 17, dan beberapa spot strategis lainnya. Namun yang pasti, baliho bergambar pria berwajah ganteng itu – setidaknya demikianlah menurut penilaian istri saya – tidak pernah melampaui atau berada di luar wilayah Kabupaten Banjar.

Oh iya, mengenai wajah ganteng itu, menurut istri saya, sangat mirip dengan artis terkenal tahun 90-an, Cok Simbara. Cok Simbara? Siapa pula orang itu. Saya akui, saya memang sedikit kuper. Suka menyendiri dan lebih asyik dengan diri sendiri. Maka, sepanjang perjalanan dari Martapura-Banjarmasin pulang pergi, saya masih belum bisa membayangkan seperti apa sosoknya. Beda kalau yang disebut itu semacam anggota Warkop DKI (Dono Kasino Indro), atau Kadir-Doyok, Grup Bagito (Miing, Didin, dan Unang), dan sederet aktor yang selalu bermain film bergenre komedi, saya pasti kenal. Saya memang tidak terlalu suka dengan film roman-romanan, berair mata, yang banyak mengekapose intrik percintaan, dan cengeng. Mungkin ini hanya karena beda selera saja.

Sampai di sini, saya masih cuek. Saya tidak terlalu peduli dengan siapapun yang memampangkan diri di baliho-baliho berukuran besar. Termasuk ucapan dan kata-kata bijak yang termuat bersamanya. Bukan karena saya anti politik dan memusuhi para politisi, bukan. Saya cuma tidak ingin mumet. Saya hanya ingin yang ringan-ringan saja. Santai dan selalu berusaha mencari sisi lucu dari semua peristiwa.

Kata orang saya ini apatis, tapi tidak juga. Malah justru melankolis dan sangat mudah terharu sampai menitikkan air mata kalau menyaksikan kisah-kisah mengharukan. Makanya saya tidak mau nonton film yang ada adegan tangis-tangisannya. Saya bisa nangis melebihi wanita. Sebagai pria, ini memang sisi pribadi yang amat memalukan. Bisa ngakak istri saya kalau dia tahu.

Saya pun kadang suka terharu bila membaca kata-kata bijak yang dapat membangkitkan semangat. Karena alasan itu pula saya sangat tidak ingin, bahkan sering membuang muka ketika melihat baliho besar di pinggir jalan. Takut mata ini sembab. Apa kata orang nantinya melihat saya tiba-tiba bersimbah air mata saat naik motor karena terharu membaca isi reklame. Pria apaan, lebay! Semoga istri saya tidak baca tulisan ini, karena sungguh, ini rahasia terbesar saya.

Siapa pria di baliho itu, siapa Cok Simbara, saya tidak peduli. Namun sikap keras kepala ini tidak bertahan lama. Sekitar dua tahunan, tepatnya hingga Ramadan baru tadi. Tanpa sengaja membaca sebuah artikel kesehatan di internet, yang menuliskan bahaya tidur setelah makan sahur. Saya manut berjaga sampai agak siangan. Untuk mengusir rasa kantuk setelah salat subuh, saya sibukkan diri dengan menonton TV. Tentunya acara yang ada humor-humornya.

Pilihan saya sebuah sinetron Ramadan yang menceritakan tiga pria konyol, yang sangat bermasalah dengan cinta, pekerjaan, dan nasib baik. Sepertinya, tiga orang ini tak pernah bernasib mujur. Selalu sial. Kerap terlibat konflik, kalau tidak rebutan cinta dan persaingan dengan pria-pria lain yang lebih tajir, pastilah konflik itu terkait masalah pekerjaan. Mereka bertiga juga kadang bermasalah dengan penghuni rusun lainnya, termasuk dengan orang tuanya yang mulai gerah dengan kesialan yang ditimbulkan mereka. Hanya satu orang yang selalu sabar dan sering menolong tiga semprul ini sekaligus menjadi tempat curhat dan meminta nasihat. Dia adalah Ustaz Kosim. Sosok ustaz sederhana, bijak, dan penuh keikhlasan. Dia juga sangat disegani oleh seisi rusun. Belakangan saya tahu, aktor yang memerankan Ustaz Kosim tak lain adalah Cok Simbara. Itupun setelah diberitahu istri saya. Rupanya ini orangnya.

Sampai di sini, saya belum juga sempat terpikir untuk menghubungkan kemiripan tokoh berpeci, berkemeja biru rapi di baliho itu. Saya masih begitu larut dengan cerita komedi yang menurut saya lucu, segar dan menarik. Ini pasti karena sutradara dan penulis naskahnya yang hebat. Mampu menyulap artis-artis yang sebenarnya bukan pelawak seperti Gading Marten dan Andika Pratama menjadi seorang yang sangat konyol dalam serial yang hanya tayang di pagi bulan puasa itu; Tiga Semprul Mengejar Surga. Begitu judulnya seingat saya.

Skip, skip, skip...Beberapa minggu berlalu usai lebaran. Saya belum juga tertarik mencari tahu, siapa pria berkemeja rapi, berpeci di baliho itu. Oh iya, di beberapa kesempatan, pria yang kata istri saya mirip Ustaz Kosim (Cok Simbara) itu, ternyata tidak selalu mengenakan kemeja biru dalam balihonya, pernah juga berpakaian baju koko warna putih dan sederhana. Bila sudah begini, betul-betul sangat mirip dengan sang ustaz. Hingga akhirnya di suatu siang, saya memiliki keperluan ke Banjarmasin. Melewati bundaran Km 17, mata saya tertumbuk pada baliho bergambar pria ini. Dia bersama istrinya. Terlihat cantik. Saya pikir, mereka berdua memang pasangan serasi. Apakah Cok Simbara juga memiliki istri yang berparas serupa dengan istri orang ini? Jangan-jangan memang demikianlah adanya.

Tumben dan seakan ada yang memerintahkan, saya menyempatkan berhenti, dan membaca tulisan-tulisan di dalamnya. Ucapan lebaran yang belum juga dilepas dari papan berukuran besar ini. Kalimatnya standar, “Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Bathin, bla…bla…bla…”. Di bagian bawah tertulis dengan huruf kapital: KELUARGA BESAR PANGERAN ABIDINSYAH. Ow oo, rupanya Abidin nama pria ini. Sampai di sini saya baru tahu namanya. Siapa dia dan apa latar belakangnya, belum. Mungkin dia tokoh penting di daerah ini, mungkin pula dia pejabat. Saya tak ambil pusing dan memilih melanjutkan perjalanan.

Tak terasa Idul Adha tiba. Karena terjadi perbedaan antara penganut Muhammadiyah dengan pemerintah dalam merayakan lebaran, kami ketiban berkah, mendapat libur kerja dua hari. Lumayan. Waktu itu saya gunakan untuk nonton televisi berbayar di rumah. Channelnya memutar film-film lawas. Dan sangat kebetulan, lagi-lagi diperankan oleh Cok Simbara. Judulnya: Kentut.

Diceritakan dalam film tersebut, seorang dokter yang bertugas di sebuah rumah sakit di Kabupaten Kuncup Mekar dan menjabat sebagai kepala rumah sakit. Namanya dr Fery. Tokoh ini diperankan Cok Simbara. Suatu hari dr Fery mendapat pasien yang merupakan orang penting. Pasien tersebut adalah Ibu Patiwa, salah satu calon bupati yang maju di pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Kuncup Mekar. Karena pasiennya adalah orang penting, Fery mendapat tekanan yang berbeda dibanding menangani pasien biasa.

Tim sukses dari calon bupati tersebut terus menerus mendesak agar memberikan perawatan terbaik. Fery menjawab dengan bijak, bahwa pihak rumah sakit akan berusaha memberikan yang terbaik. Namun dia mengingatkan, tim dokter hanya berusaha, tetapi yang menentukan kesembuhan adalah Yang Maha Kuasa.

Keadaan menjadi semakin rumit karena banyak wartawan yang datang ke rumah sakit untuk meliput perkembangan kesehatan sang calon bupati. Nama baik dan kredibilitas rumah sakit menjadi sorotan publik. Sang dokter berada dalam situasi yang sangat membingungkan. Tim sukses yang tidak sabaran, para wartawan yang terus menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan sungguh membuatnya stress berat. Namun Cok Simbara, eh dr Fery  tetap berusaha tenang dan sabar. Hingga akhirnya Fery mendapat suatu titik terang. Menemukan alternatif cara agar sang pasien bisa segera kentut. Dan ternyata benar, sang pasien benar-benar bisa kentut.

Sebuah cerita yang menurut saya sangat menghibur karena mengandung unsur komedi, kesukaan saya. Juga terdapat pelajaran berharga berupa ketenangan dan keyakinan yang ditunjukkan dr Fery. Film berakhir, digantikan tayangan iklan bermenit-menit.

Untuk membunuh kebosanan, menunggu film selanjutnya, saya memilih menyalakan internet. Tiba-tiba saya teringat tentang kembaran Cok Simbara di baliho ketika itu. Apa kabar dia ya? Saya pun mencarinya di mesin pencarian andalan. Apalagi kalau bukan google. Saya ketik kata kunci: Pangeran Abidinsyah. Informasi pun keluar susul menyusul. Dan ternyata sangat banyak. Rupanya dia memang tokoh yang banyak ditulis media.

Benar dugaan saya, saat pertama kali meneliti baliho di Km 17 dalam perjalanan ke Banjarmasin beberapa waktu lalu. Ternyata dia memang seorang pejabat, eselon dua. Pernah menduduki beberapa jabatan penting di Pemkab Banjar. Karirnya tergolong moncer. Pernah pula karena prestasi nasional yang dicapainya, Abidin sampai mendapat anugerah lompat naik pangkat sampai dua kali. Sesuatu yang sangat jarang diraih seorang pegawai negeri.

Laman demi laman situs berita saya baca untuk menuntaskan rasa penasaran pada pria berdarah bangsawan Banjar ini. Abidin ternyata seorang yang memiliki jiwa sosial yang terpuji. Terceritakan kalau dia bukan sosok peragu. Terlebih ketika harus menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Dia mengunjungi dan membantu keluarga tidak mampu yang kebetulan membutuhkan biaya pengobatan karena menderita penyakit berat dan terhimpit ekonomi. Dia memang tidak selalu mampu membiayai pengobatan orang yang ditolongnya seorang diri, apalagi dari kantong seorang pegawai negeri, walau Abidin memiliki jabatan yang tidaklah rendah.

Kalau sudah mentok, Abidin biasanya akan mengajak rekan-rekan sejawatnya untuk membantu. Dengan membuka dompet peduli untuk disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Di sinilah mungkin salah satu bukti kecerdasan dan talenta kepemimpinan yang dimilikinya. Tak salah jika salah satu parpol besar kemudian mau mengusungnya menjadi calon kepala daerah. Walaupun, saya sempat baca juga, proses pendaftarannya menjadi bakal calon kepala daerah harus melalui jalan berliku dan nyaris gagal akibat ditolak KPU setempat.

Ramai juga diberitakan, bagaimana perjuangan Pasangan Calon Abidinsyah-Mawardi untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon yang diusung oleh satu partai yang mengalami dualisme kepengurusan di tingkat pusat, harus mengikuti sidang-sidang melelahkan yang diselenggarakan Panwaslu untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan dirinya dengan KPUD.

Dan Uniknya, di tengah perjuangan hidup mati untuk mendapatkan pengesahan sebagai calon kepala daerah saja, pasangan yang kemudian mengusung jargon Abdi ini harus pula menghadapi upaya calon lawan politik, tiga pasangan calon kepala daerah lain yang lebih dulu disahkan KPUD, berusaha mengadang langkah Abidin memasuki gelanggang pertarungan. Sampai-sampai mereka bertiga yang harusnya saling bersaing, malah memilih bersatu dan membentuk semacam forum komunikasi untuk menyingkirkan pasangan ini. Begitulah politik. Kadang kejam. Benarlah sebuah ungkapan, tak ada teman sejati dan tak musuh abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan. Karena itu pula, saya cenderung memilih kata tidak untuk politik.

Semakin jauh laman yang terbaca, semakin banyak informasi tentang Abidin yang terbuka. Si “Cok Simbara” ini ternyata juga sangat peduli dengan aktivitas dan pembinaan keagamaan. Mungkin karena dia Ketua ICMI. Tapi yang jelas dia terlihat begitu aktif memerangi buta aksara hijaiyah, dengan membuka sebanyak-banyaknya lembaga baca tulis Alquran. Kalau Soeharto disebut Bapak Pembangunan, Gusdur Bapak Fluralisme, untuk skop yang lebih kecil di daerah, Abidin layak disandangkan dengan sebutan Bapak Iqra Kabupaten Banjar. Setidaknya demikian pendapat saya. Sampai di sini saya mulai terharu dan menitikkan air mata. Walau secara pribadi, saya tidak mengenalnya, begitupun dia.

Begitulah. Seandainya kelak, dari hasil pemilihan yang jujur dan adil, si Cok Simbara kawe satu ini terpilih memimpin kabupaten yang berjuluk Serambi Mekkah, menjadi bupati di bumi yang banyak mencetak para santri di nusantara, dan mengabdi total pada masyarakatnya yang sangat agamis, saya rasa warga tidaklah akan terbebani rasa berdosa karena memilih dia, sebab pilihan mereka sudah tepat. Setidaknya begitu menurut saya. ()

Sunday 27 September 2015

Biarkan Selfie Narsis Bicara

DALAM sebuah kelas coaching clinic yang digelar di kantor saya, ada materi tentang fotografi. Pembicaranya seorang fotografer kawakan dari kantor pusat. Menurut teori, kata dia, sebuah karya foto adalah sarana untuk menyampaikan pesan-pesan yang diinginkannya.

Seorang fotografer yang memiliki kepekaan dalam melihat obyek di sekitarnya, hasil fotonya bisa menyampaikan pesan lebih, bahkan bisa muncul suasana lain di dalamnya yang mungkin orang kebanyakan tidak merasakannya. Karenanya, bagi seorang fotografer yang penting adalah foto yang dihasilkan bisa bicara dan menginspirasi. Itu teori yang dikatakannya.

Tapi saya punya teori juga yang didapat dari ilham. Mungkin dari mimpi atau pernah baca dari buku atau sumber lain, namun sudah terselip dan terpendam sekian dalam di alam bawah sadar. Sehingga ketika mendengar teori tentang foto berbicara dan menginspirasi, pikiran saya mendadak memunculkan hal serupa, namun bertolak belakang.

Menurut teori saya, untuk sementara saya sebut begitu dulu karena hingga saat ini saya masih belum mampu mengingat sumbernya, atau jangan-jangan memang belum ada seorangpun yang mengemukakann teori ini; foto yang mampu berbicara itu belumlah segalanya. Belum mampu melampaui sebuah foto yang dibicarakan, foto yang menjadi buah bibir. Berbicara dan dibicarakan itu memiliki makna yang berbeda. Maqom-nya pun sangat jauh.

Foto yang berbicara itu adalah foto yang sangat ingin dibicarakan. Perkara apakah nantinya harapannya akan terwujud, tergantung penerimaan dari orang yang menilainya. Tentu saja ini sangat berbeda dengan sebuah foto yang telah berada di level foto dibicarakan. Foto yang dibicarakan itu sudah pasti adalah foto yang berbicara, yang kemudian berevolusi menjadi foto yang dibicarakan banyak orang.

Foto yang dibicarakan itu sudah pasti akan menjadi berita. Dia adalah sumber berita itu sendiri, dia menjadi buah bibir, viral dunia maya, dan dibicarakan di mana-mana. Sehingga wartawan menjadi sangat berkepentingan dengan foto itu untuk disiarkan. Entah itu dengan cara difoto lagi (direpro) atau dituliskan menjadi sebuah berita yang bernilai.

Sedangkan foto yang berbicara, hanyalah foto yang sedang berjuang meminta perhatian. Dengan harapan dia nantinya menjadi foto yang dibicarakan, dipuji, disanjung, dinobatkan menjadi ini-itu, dielu-elukan. Tapi apakah lantas terwujud. Tergantung. Nasib baik yang menentukan kemudian.

Makanya, jangan bangga dulu karena mampu membuat foto berbicara. Sebab, foto yang berbicara itu belum tentu menjadi foto yang dibicarakan. Foto berbicara itu hanya sebatas sebuah potret yang terkungkung oleh kebanggaan pribadi seorang fotografer, yang belum tentu diterima dan dibicarakan orang lain.

Saya punya seorang kawan yang hobi berpose dengan para pesohor. Bahkan hobinya ini sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Ketika melihat seorang pesohor, dia mendadak seperti kehilangan akal sehatnya dan instingnya sebagai wartawan. Dia mendadak blank. Satu-satunya yang mampu diingat hanyalah, dia harus berfoto dengan pesohor yang ditemuinya. Bagaimanapun caranya.

Dia akan linglung dan kehilangan gairah, hanya gara-gara gagal berfoto dengan seorang artis dangdut pendatang baru yang belum terlalu terkenal. Prinsifnya, dia harus berfoto dengan siapapun yang terkenal. Walau itu artis tingkat kampung. Karena konsep terkenal menurut keyakinannya adalah dikenal lebih dari 10 orang. Entah, dari mana konsep itu dipungutnya.

Dan saya sempat mengira, jalan satu-satunya untuk menjaga kewarasannya hanyalah dengan berfoto itu. Ternyata saya salah. Dia justru lebih parah kala berhasil. Saat sukses menjepret dirinya dengan seorang pesohor, kebetulan tokoh salah satu parpol tingkat nasional, dia malah mengalami semacam euforia berlebih. Terserang amnesia. Lalu akhirnya lupa harus menulis berita apa, gara-gara terlalu gembira. Ketika redaktur menanyakan beritanya, dia malah cengengesan sambil menyerahkan foto dirinya dengan sang tokoh. Mungkin dia berharap, fotonya itu bisa masuk koran dan ikutan terkenal.

Saat resign dari kantor kami dan membuka usaha wiraswasta, kegemarannya berfoto dengan pesohor tidak lantas berhenti. Hanya saja sedikit berkurang karena mungkin agak sulit, sebab aksesnya mendekati para pesohor sekarang menjadi tidak mudah. Tahu sendirilah, wartawan kan mudah menyusup kemana saja. Cukup berbekal ID Card, dia bisa menerobos, bahkan sampai ke kamar ganti artis.

Tidak lebih dari setahun berwiraswasta, dia mulai frustasi dan memilih kembali berkarir di media, meski harus pindah ke media massa yang lebih kecil. Mungkin karena dia sudah tidak bisa lagi berselfie ria dengan artis, tokoh parpol, kepala daerah, dan para peshor lainnya.

Tahukah Anda, setiap dia berhasil berfoto dengan artis, dia berusaha keras menerbitkannya di media massa. Kalau ternyata gagal, dia tak habis pikir. Apalagi zaman medsos seperti sekarang. Dia akan memamerkannya di facebook, twitter, instagram, dan lainnya. Kegilaan yang sulit untuk disembuhkan.

Itu tadi cerita tentang seorang kawan. Saya punya seorang kawan lagi yang juga memiliki kegilaan serupa. Dia juga senang memoto dirinya, dan memostingnya ke media sosial. Hanya saja, yang jadi objek targetnya bukanlah orang terkenal. Melainkan benda-benda unik, ganjil, maupun suasana yang berbeda dari kelaziman, dan agak norak.

Pernah dia berfoto di sebuah objek wisata. Saya menduga, dia berfoto di lokasi candi borobudur. Walapun saya tidak terlalu yakin dengan dugaan saya. Kawan saya itu berfoto di dekat tulisan: “No Smoking” yang terpasang di lokasi candi, sambil menyalakan sebatang rokok. Begitu bangganya dia saat memasang foto itu di facebook miliknya, sambil berkoar, merokok adalah hak asasi manusia. Melarangnya berarti telah melanggar HAM. Sinting!

Dia juga pernah berpose di dekat sebuah patung kakek mengenakan blangkon. Saya pernah melihat patung itu. Menilik suasana sekitarnya dan kesibukan orang berbelanja, sepertinya itu di salah satu toko yang menjual souvenir di bilangan Jl Molioboro Jogja. Saya sempat berdebat dengan beberapa pengunjung facebooknya yang mengatakan kalau lokasi patung itu berada di lingkungan keraton. Si pemilik foto, kawan saya itu, begitu menikmati perdebatan di dunia maya itu dengan tanpa memberi komentar apapun.

Dari dua kawan yang memiliki kegilaan serupa ini, saya menyimpulkan, foto mereka berdua dapat digolongkan ke dalam dua mazhab berbeda; mazhab foto berbicara; dan foto dibicarakan. Untuk contoh pertama, memang foto bicara. Menunjukkan kalau dia sedang berfoto dengan artis A, tokoh B, selebriti C, dan lain-lain. Namun tak satupun orang yang mau membicarakannya. Yang ada malah nyinyir. Menatap sebentar, setelah itu beralih.

Berbeda dengan kawan yang kedua, foto yang dihasilkannya sukses menjadi foto yang dibicarakan. Memancing orang untuk menduga-duga. Sekurang-kurangnya akan tertawa. Memang agak menghibur, sampai ada yang mengatakan, fotonya cukup gila dan orangnya pasti sinting.

Terinspirasi dari kegilaan mereka, saya mencoba membangun mazhab baru dalam berpose; yaitu berpose dengan orang gila, berselfie di tempat pembuangan sampah penuh lalat, berpose dengan mayat, pembunuh berantai, pemerkosa janda, pencuri yang habis digebuki massa, berfoto di dalam gelap, dan lainnya. Dan prestasi terbesar saya dalam berpose narsis adalah, berfoto dengan pejabat, artis, selebrita, dengan wajah saya yang sengaja saya tutup dengan masker. ()

Friday 25 September 2015

Selamat Datang di WC Pria


NAMANYA saja WC Pria, tentu saja untuk pria. Kalau di tempat-tempat umum yang biasa menyediakan WC, biasanya ditandai dengan lambang manusia yang tidak pakai rok. Di bawahnya bertulisan “Man”. Entah mengapa tidak ada yang bertulisan “Pria”. Mungkin yang bikin bukan orang kita. Ah, Indonesia bikin benda seperti ini saja tidak bisa.

Beberapa masa kemudian, seorang teman menunjukkan gambar yang diperolehnya dari internet, ada logo WC yang bertulis pria. Saya langsung berbinar. Penemuan berharga itu langsung mengubah persepsi saya, dan saya kembali mencintai Indonesia. Walau hingga saat ini saya belum sekalipun menemukan yang demikian di alam nyata.

Tapi sudahlah, apalah arti sebuah simbol, yang penting kalian bisa mengenali dan tidak salah masuk. Sebab kalau keliru, bisa gawat, boy. Alarm alami yang dipunyai wanita otomatia bunyi. Diteriaki Bung! Atau ya minimal Anda dipelototi sambil ditegur begini: Maaf (eh, kadang juga gak pakai maaf), apa Anda tidak bisa baca! Anda buta?

Memang egois, tapi ya begitulah wanita. Reaktif, pemarah, tak mau disepelekan, dilecehkan, suka nangis, suka mendiamkan prianya hingga berhari-hari, ingin selalu dinomorsatukan, anti dipoligami dan banyak lagi. Ironisnya, mereka tetaplah menjadi makhluk yang menyenangkan bagi kita, bagi pria.

Bagaimana dengan wanita sendiri? Inilah bedanya dengan pria. Wanita boleh ngintip, terang-terangan juga boleh. Apa pria marah? Tak sanggup rasanya hati ini marah. Malah ada yang senang. Bangga diintip wanita. Pria memang beda.

Pria-pria memang biasa terbuka dengan siapa saja. Dengan makhluk cantik bernama wanita, apalagi. Tak ada pria yang marah kalau wanita salah masuk WC. Padahal belum tentu wanita akan selalu aman buat mereka. Siapa yang bisa jamin kalau wanita tidak bakal melirik ke arah bagian-bagian tertentu yang mereka sukai dari tubuh lelaki. Atau berbuat sadis. Banyak di koran dan televisi yang memberitakan ada wanita yang membunuh suaminya atau yang mendalangi pembunuhan. Pemerkosaan dan lainnya. 

Begitupun dengan blog ini. Silakan para wanita masuk blog WC Pria. Mau sekadar mengintip ataupun mau numpang “pipis” (berkomentar dan segala macamnya) juga monggo. Sekali lagi, karena pria lebih terbuka, sedangkan wanita selalu ingin dimengerti. Itu saja.

Mengapa harus WC Pria, karena WC bagi pria (mungkin wanita juga) bukan sekadar tempat buang hajat. Pipis beol setelah itu sudah. WC telah menjadi tempat segalanya. Tempat merenung, tempat merokok, kadang memang klop juga sih merenung sambil merokok. 

Kalau pas kebetulan mulas, sembari menuntaskan sesuatu yang memang saatnya untuk dikeluarkan, merokok sambil jongkok dan merenung di WC itu rasanya nikmat banget. Tidak perlu kita harus repot bersopan-santun dan sok menjaga kesehatan orang yang tidak merokok di sekitar kita. 

Tidak perlu takut ditegur, karena setahu saya belum ada satupun WC di daratan ini yang ditempeli stiker peringatan bergambar rokok disilang merah. Jadi selama tidak ada itu, WC masih menjadi zona aman untuk merokok.

Dulu ada kawan yang mengeluh mulas dan minta izin mau ke belakang, tapi malah lari ke depan. Mau ke warung dulu katanya. Beli rokok. Dia mengaku tak pernah merasa puas kalau beol tanpa rokok. Seperti sayur tanpa garam, seperti langit tanpa bintang, seperti lelaki jomblo tanpa sabun. Entah metabolisme tubuh macam apa yang dipunyainya sampai-sampai tak bisa beol tanpa rokok. Saya pernah coba, ternyata nikmat juga.

WC bagi pria juga semacam tempat privasi, tempat yang cukup pribadi. Walaupun banyak juga pria yang buang hajat sembarangan. Di bawah pohon, tiang listrik, rerimbunan semak, ATM, telepon umum, sudut toko, sambil komat-kamit minta izin; “Mbah…cucu numpang pipis…”

Bahkan ada yang kebelet saat nyetir. Dengan cukup meminggirkan mobilnya, membuka pintu dan menjadikannya semacam pembatas dengan alam terbuka, lalu cuuurrr…nyucinya pakai air mineral kemasan, sisa airnya dia pakai lagi buat minum. Atau pakai daun. Biasanya ini buat yang tidak nemu air dan kebetulan melakukan ritual tersebut di dekat pohon. Kalau tidak punya daun dan air, kadang juga cukup dijentik, tik, tik, tik. Sudah.

WC kadang juga menjadi tempat memuaskan nafsu (jangan ngeres dulu), amarah, menangis. Kalau menangis biasanya pria paling anti ketahuan orang, apalagi ketahuan wanita. Kalau ketemu WC, tinggal kunci pintu, nyalakan kran, sudah deh mewek. Menangislah sang pria sejadi-jadinya. Lebay!

Dan Entahlah, sudah sejak kapan WC menjadi tempat untuk menggali ide cemerlang. Dalam sebuah wawancara di televisi, salah satu artis, penulis, sekaligus pencipta lagu terkenal di zamannya Dik Doang mengaku hanya bisa berpikir cemerlang, memproduksi semua ide-idenya saat duduk di kloset. 

Sampai-sampai hanya untuk keperluan memunculkan kesan sedang berada di dalam WC, dia sampai menaruh kloset di ruang kerjanya. Sehingga ketika dia kehabisan ide saat menulis atau menciptakan lagu, maka dia berpindah dari kursi kerjanya dan duduk di kloset. Dan secara ajaib, ide itu berhamburan keluar dari benaknya seperti hujan deras yang turun dari langit. Wow!

Kadang, ketika si pria-pria kesepian tak punya kawan curhat, dia masuk WC. Bicara sendiri. Ruang WC yang sempit dan tertutup rapat biasanya akan menciptakan pantulan-pantulan suara yang sedikit berbeda dari aslinya. Maka jadilah dia sebagai lawan bicara yang mengasyikkan, tidak “ember”, rahasia terjamin, tidak pernah nyolot atau malah balik menyalahkan kita, tak pernah mendebat. Pokoknya paling memahami kita deh. Gila!

Seorang orator pemula, kadang tak cukup hanya cermin yang dia jadikan media berlatih. Tahukah Anda, sebelum sampai cermin dia akan berlatih pidato sejadi-jadinya di dalam WC. Membayangkan sedang berbicara di depan kerumunan massa, berdiri di atas podium agung. Dengan gagah memegang gayung yang didekatkan ke mulut, dan mulailah berorasi dengan kalimat standar; saudara, saudara!

WC juga kadang bisa menjadi tempat meludah, membuang puntung rokok, menjadi semacam asbak. Memang kesannya jorok, tapi ini masih lebih sopan ketimbang membuang pembalut, tissue bekas ngelap kosmetik dan sejenisnya. Kalau sudah pembalut yang dibuang, alamat mampet. Ujung-ujung keluar duit buat manggil tukang sedot WC. 

Makanya, di kebanyakan WC umum sering dipasang peringatan agar tidak membuang pembalut, tissue dan puntung rokok ke dalam lubang kloset. Maknanya apa? Karena lubang WC biasanya jadi tempat pembuangan barang begituan. Tapi yang jelas tidak ditempeli larangan merokok. Hanya saja kalau membuang puntung jangan ke dalam lubang.

WC seakan sudah menjadi teman paling setia bagi kita. Tak pernah terbatuk-batuk mendengar suara pals kita bernyanyi, tak pernah mengumpat saat kita meludahi, tak pernah menjadi paparazzi dan menyebarkan foto wajah kita yang bersemu merah, bergetar hebat saat berjuang melepaskan sisa makanan dari dua lubang saluran pembuangan di tubuh kita. Atau mempublishnya lewat Instagram dan youtube ke dunia maya ketika menyaksikan kita melakukan sesuatu yang bersifat sangat pribadi. 

Kalaupun pernah terjadi, ada video yang disebar di internet, pelakunya jelas bukan dia. WC tak pernah menusuk dari belakang. Tak pernah juga merasa cemburu ketika kita ketahuan pipis dan beol di WC lain.

WC juga tak pernah menuntut kita membersihkannya setiap saat. Kadang saat kita malas, menyiram sisa kotoran saja kita sering lupa. Tak pernah juga dia merengek-rengek minta dibelikan kamper wangi, pengharum ruangan ber-timer, atau menaruh lukisan bunga untuk mempercantik penampilan. 

Semua terserah kita. Sepanjang kita betah dengan dia, sebau, seburuk apapun penampilannya, WC tetap setia melayani tuannya. Kadang juga bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan uang. Walau hanya recehan, tapi lumayan.

Bagi para jomblower tulen, WC kadang bisa lebih indah dari kesakralan sebuah kamar pengantin, lebih mewah dari sebuah kamar hotel kelas melati, lebih setia dari mantan yang berpaling ke lelaki lain, atau istri bohai yang juga bisa berselingkuh di belakang kita. 

Kalaupun sesekali WC menerima pengguna lain, pastilah itu atas seizin pemiliknya. Sejorok apapun prilakumu, WC tetap menerimamu apa adanya.
Curhatlah di sini, menangislah di sini, marahlah di sini, berteriaklah di sini (tapi jangan kencang-kencang, malu kedengaran orang), meludahlah di sini, berbagilah di sini, berlatihlah di sini, berapa-apapunlah di sini. Di sini aman. 

Tapi maaf kawan, saya sedikit keliru soal logo WC Pria yang tidak pernah menyantumkan kata "Pria". Beberapa bulan setelah menghantarkan tulisan ini di blog saya, saya pulang bepergian menggunakan pesawat. Setiba di Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru, saya kebelet pipis. Singgahlah saya di WC di sebelah pintu keluar kedatangan. Di situ saya melihat logo gambar orang tanpa rok dan bertulisan " Pria". Saya surprise sekaligus tepekur. Oh Tuhan, ternyata saya terlalu asosial. ()