Saturday 17 October 2015

Satu Antrean di Depan Ruzaiddin

SAAT mulai menulis coretan ini sebenarnya saya agak khawatir dengan anggapan banyak orang yang mungkin menuduh saya sedang ingin mempengaruhi orang untuk memilih Ruzaiddin menjadi walikota kembali. Bukan, sama sekali bukan. Saya hanya ingin berbagi hikmah. Dari sebuah sikap mulia yang harusnya dapat dijadikan contoh oleh siapapun di kolong langit ini.

Kisah seseorang yang sedang berada di puncak karir gemilangnya, namun tidak lantas angkuh, dan tetap rendah hati. Padahal di posisinya sekarang untuk menjadi tinggi hati sekalipun, orang akan tetap bisa memakluminya. Tapi dia tidak mengambil sikap ini. Dia justru mengambil jalan sunyi, untuk tetap menjadi biasa-biasa saja dan menganggap jabatan mewah yang tersampir di pundaknya bukanlah sesuatu yang dapat membuat jarak antara dirinya dengan manusia lain.

Pantaslah, sebagian orang pernah bilang, Ruzaiddin itu sesosok orang yang terus mencoba menjadi malaikat untuk orang sekitarnya. Memang bukan selalu untuk menolong, tetapi seorang malaikat yang menginspirasi banyak orang.

Ada peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, ketika sedang antre di sebuah bank dekat SPBU COCO Banjarbaru. Sebelum pindah ke tempatnya yang sekarang di km 34, bank tersebut memang selalu bikin kesal. Bukan saja karena area parkirannya yang selalu penuh sampai memakan badan jalan dan membuat macet lalu lintas ketika melewati jalur itu, tapi juga antrean nasabahnya yang panjang dan membuat kesal setiap orang yang sedang berurusan di bank tersebut. Tentu saja saya salah satunya. Saya salah satu nasabah yang sempat kesal lantaran antrean yang selalu mengular.

Untuk berurusan menarik atau menyetor uang saja, semua nasabah harus rela berdiri mengantre. Iya, berdiri, berbaris seperti masa anak-anak bermain permainan ular naga. Tidak duduk di kursi seperti sekarang, sambil memegang kupon antrean dan menunggu nomor kita dipanggil. Untuk menyetor atau menarik uang yang sebenarnya adalah uang mereka sendiri saja sampai harus mengantre sedemikian rupa, kayak rakyat yang hidup di orde lama dulu yang saya pernah lihat di layar televisi atau film dokumentasi nasional, yang mempertontonkan pemandangan orang-orang berkain tepung yang antre beras.

Saya maklum, ketika itu kondisi perekonomian Indonesia sedang morat-marit tidak karu-karuan. Tapi sekarang beda urusan, kondisinya sama sekali tidak seburuk itu. Mereka yang mengantre ke bank itu, tentu saja orang yang berurusan dengan uang mereka sendiri. Sebagian besar malah orang kaya, berduit. Apalagi ketika itu, seingat saya sekitar tahun 2012, bukanlah berada dalam kondisi krisis, dimana ekonomi berjalan cukup baik, normal dan stabil. Tapi ini kok masih ada antrean, bahkan untuk urusan menabung uang. Ini sungguh keterlaluan menurut saya.

Tapi apa boleh buat, saya toh tetap ikut antrean. Namanya juga antre, datang belakang, harus rela mengantre di urutan paling belakang. Yang lebih membuat saya ngilu itu, antrean di depan saya, panjangnya minta ampun. Kalau saya hitung-hitung, ada sekitar 14 orang di depan saya. Kondisi ruangan yang sempit membuat pengantre harus rela berbaris berkelok-kelok mengikuti pita merah yang dipasang petugas bank.

Sesuatu yang membuat sabar hanyalah paras-paras menarik petugas bank yang selalu mengumbar senyum dan AC ruangan berpewangi yang terus hidup. Untuk membayangkan listrik dan AC yang mendadak padam saja sungguh dapat membuat saya lemas dan menyerah.

Kondisi yang serba menjemukan itu tak ayal membuat saya jadi mengkhayal yang bukan-bukan. Misalnya membayangkan enaknya jadi pejabat atau orang penting. Kalau saya pejabat, tentulah tak perlu sampai mengantre sedemikian. Atau mungkin asyik juga seandainya menjadi orang kaya atau menjadi nasabah utama bank ini. Baru memarkir mobil saja sudah disambut terbungkuk-bungkuk oleh sekuriti dan pimpinan bank. Tak perlu capek-capek antre seperti ini.

Tapi itu tentu saja bukanlah khayalan yang mudah diwujudkan. Apalagi ketika melihat saldo di buku tabungan yang tidak lebih satu juta. Satu-satunya yang paling memungkinkan orang konyol seperti saya adalah menjadi Mr Bean. Anda pasti tahu dengan orang ini, bukan. Tokoh yang kalau main filmnya itu tak pernah ngomong. Seseorang yang diceritakan jatuh dari planet antah berantah yang selalu bertindak konyol dan tidak jarang malah beruntung dengan kekonyolannya itu.

Dalam serial filmnya yang pernah tayang di sejumlah televisi dan pernah juga saya tonton di youtube, ada cerita tentang Mr Bean yang sedang antre di sebuah bioskop. Dia berada di barisan paling belakang untuk mengantre tiket. Karena ingin terburu-buru, Mr Bean berusaha mengakalinya dengan mengerjai pengantre di depannya. Entah itu dengan mencolek, merenggut barang bawaan pengantre di depannya, atau hal-hal usil lainnya yang dapat memecah konsentrasi para pengantre, sehingga dia dapat mudah menyalip posisinya sedikit demi sedikit. Begitu terus, dengan tingkah menggelikan yang cerdas, Bean sukses merangsek sedikit demi sedikit ke depan, dan berhasil menjadi berada di antrean terdepan.

Saya pikir, trik Mr Bean inilah yang paling pas untuk saya, tanpa perlu menjadi nasabah terkaya, atau menjadi pejabat yang berkuasa. Saya cukup menjadi Mr Bean, ya Mr Bean, dengan mengusili pengantre lainnya, sedikit demi sedikit merengsek maju ke depan. Tapi tunggu dulu, saya tetap harus waspada. Kalau saya saja mampu berkhayal seperti ini, orang yang di belakang saya pun pasti bisa juga. Jangan sampai saya justru yang jadi korban.

Manusiawi, sebagai bagian dari upaya pertahanan diri dan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, oleh “Mr Bean” lain di belakang saya, saya perlu melakukan teknik khusus yang tidak terlalu sukar dilakukan, yang harus saya lakukan sealami mungkin. Dengan sedikit memiringkan badan, saya mencoba menengok ke belakang untuk mempelajari keadaan. Dan, astaga! Saya kaget bukan main. Di belakang saya, mengantre orang yang paling terkenal dan dihormati di kota ini. Walikota Ruzaidin.

Khayalan saya tentang beragam cara licik untuk menghancurkan barisan antrean demi untuk mempercepat maju ke antrean terdepan, buyar seketika. Hanya karena mengetahui, orang yang berada tepat di belakang saya ternyata walikota. Walikota yang terlihat begitu sabar mengantre. Padahal kalau dia mau, bisa saja meminta pegawai atau pimpinan bank untuk memberikan pelayanan istimewa kepadanya. Atau menyuruh ajudannya menggantikan dia antre. Agar ketika pas berada di depan kasir yang cantik-cantik itu, dia yang kemudian melanjutkan tanpa capek mengantre. Namun sang ajudan malah terlihat santai, berbincang-bincang dengan sekuriti di pintu masuk ruangan.

Sebagai warga kota yang tahu sopan santun, dan masih memiliki sedikit tata krama, saya menganggukkan kepala, menyalami dan mempersilakan beliau bertukar tempat dengan saya. Tapi dia hanya senyum. “Sesuai antrean saja,” katanya tegas.

Karena suara saya sedikit gaduh, beberapa orang di bank, terutama mereka yang antre di depan saya turut menengok, dan sama-sama terkejut, ternyata ada Pak Wali di belakang. Banyak juga yang kemudian menyalaminya dan berbuat seperti saya, merelakan antreannya untuk sang walikota. Tapi juga ditolaknya. Sebuah sikap yang serasa menampar muka saya.

Jauh sebelum saya menuliskan cerita ini, saya pernah juga menuturkannya pada seorang teman. Dan ternyata dia punya pengalaman yang lebih menarik. Memang masih seputar antrean.

Kata dia, dia mendapat cerita ini dari adiknya yang seorang dokter. Suatu ketika, Ruzaidin pernah berobat ke rumah sakit. Dan seperti sikapnya di bank, dia juga ikutan antre di loket pendaftaran, turut menunggu sampai namanya dipanggil untuk cek kesehatan di rumah sakit. Padahal, sebagai seorang kepala daerah, dia cukup menelepon kepala rumah sakit untuk membawanya ke ruangan khusus dan cek up di sana. Atau cukup memerintahkan kepala dinas kesehatan atau kepala rumah sakit untuk mengirimkan dokter terbaik memeriksa kesehatannya di rumah. Tapi entah mengapa itu tidak dilakukannya. Dia rela capek antre dengan wajah sedikit pucat karena sakit, dan duduk di kursi antrean yang terbuat dari alumunium. Dan sang dokter, adik teman saya itu, yang mengetahui kehadiran walikota, langsung tergopoh-gopoh mendatangi sang walikota.

Adik teman saya itu “memaksa” masuk ke sebuah ruangan untuk menjalani cek up. Tapi ditolaknya. Dia memilih antre seperti kebanyakan yang dilakukan warganya. Suasana pun mendadak ramai. Hampir semua pasien dan keluarganya berebut menyalami dan berbincang-bincang.

Cerita tentang sikap mulia seperti inilah yang ingin saya bagi, menceritakannya kepada Anda-Anda. Bukan bermaksud untuk mempengaruhi pilihan Anda di saat Pilkada nanti. Saya pun yakin, Anda tentu sudah memiliki pilihan sendiri. Saya pun, walaupun sempat terkagum dengan sikap rendah hati Ruzaidin, belum tentu di bilik suara, saya memilih dia. Saya hanya berharap begini, sikap ini juga bisa ditiru calon kepala daerah lainnya. Tepat tertib dan mau antre, membaur dengan warganya dari berbagai kalangan. Tanpa ingin meminta fasilitas istimewa, walaupun di posisi yang sebenarnya bisa melakukan apa saja.

Demikian. Saya telah belajar banyak hikmah dari kerendahan hati seorang Ruzaidin. Dan pernah berbangga, bahwa saya pernah berada di depan dan membelakangi seorang paling berkuasa di kota saya, hehehe...()

No comments:

Post a Comment