Artikel yang sama juga bisa dibaca pada: ramliarisno.blogspot.co.id
Dunia Pria
Tuesday 12 January 2016
Handphone Gusdur Juga Pernah Dicuri Porter
Artikel yang sama juga bisa dibaca pada: ramliarisno.blogspot.co.id
Tuesday 22 December 2015
Antara Miss Colombia, Miss Kaltim 2014, dan Sensasi Sebuah Miss V
Saturday 19 December 2015
GOsex, Bukan Gojek Biasa
Friday 18 December 2015
PSK (Pahlawan Stabilitas Keamanan)
Friday 11 December 2015
Gurihnya Black Campaign
ANDA boleh gusar jika ada yang menggosipkan Anda dengan hal-hal jelek. Atau ada yang tahu rahasia yang Anda telah disimpan rapat-rapat, kemudian dibongkar dan diumum-umumkan di sosial media.
Di musim Pemilu, apapun jenisnya, mulai Pemilu legislatif, presiden, sampai pemilu kepala daerah (Pilkada) Serentak yang baru saja berlangsung 9 Desember 2015 kemarin, istilah black campaign menjadi hal yang paling dihindari. Tapi tahukah Anda, black campaign tidak harus selalu berbuah kejelekan.
Bagi sebuah kelaziman, orang yang tertimpa black campaign logikanya pasti akan terpuruk. Nama baiknya akan hancur, reputasinya bakal jelek, lebih-lebih karir politik. Seorang tokoh yang sedang terserang black campaign, biasanya akan jatuh tersungkur. Tidak sedikit petahana yang ambruk dihantam badai ini. Dan kondisi seperti ini tentu amat digemari oleh para lawan politiknya. Bahkan tidak sedikit yang sengaja membangun strateginya dengan mengkondisikan demikian.
Demi kentut Dewi Fortuna yang berhembus kancang di Pilkada Serentak tahun ini. Mereka yang tertimpa black campaign justru mendapat suara terbanyak dan merajai perolehan suara Pilkada. Taruhlah, nasib yang dialami Pasangan Calon Nadmi-Jaya yang mencalonkan diri sebagai Calon Walikota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Sejak beberapa bulan sebelum pencobolosan, pasangan ini sudah diuji dengan namanya black campaign. Berangkat dari penggorengan ulang berita lama yang pernah diangkat banyak media soal kedekatan Darmawan Jaya dengan Lihan, terpidana kasus bisnis investasi yang ambruk di penghujung tahun 2009 silam dan meninggalkan banyak investor yang belum dikembalikan haknya.
Dimulai dengan diangkatnya berita lama itu dan disusul beredarnya foto-foto Jaya bersama Lihan di internet, yang di push dari website Banjarbaru Highlight. Hingga, jelang beberapa hari sebelum pencoblosan.
Upaya yang dilakukan makin gila dan massive. Yaitu dengan menyebarkan selebaran-selebaran yang mengangkat materi black campaign yang serupa dengan di internet, dengan mengekpose besar-besaran foto kebersamaan Jaya dan Lihan ke kampung-kampung. Tapi apakah Nadmi-Jaya tersungkur? Tidak. Malah perolehan suaranya di luar dugaan.
Black campaign justru menjadi semacam iklan gratisan yang menuai suara dukungan buat mereka berdua, karena sebagian besar warga bersimpati dengan nasib Jaya yang dianggap sedang teraniaya.
Jaya bukan satu-satu contoh "korban" black campaign yang malah menuai suara dukungan. Di Pilkada serentak lain kota, Pasha Ungu bersama pasangannya yang bertarung memperebutkan posisi calon wakil walikota Palu. Posisi Pasha persis seperti Jaya, sama-sama dibidik isu, dan sama-sama menjadi calon wakil walikota. Betapa gencarnya isu foto mesra dirinya dengan artis Angel Caramoy menghias layar kaca hampir seluruh stasiun televisi.
Sungguh dahsyatnya, sampai-sampai saya termasuk yang meyakini, black campaign seperti ini akan berdaya dobrak tinggi untuk menjatuhkan karir politik keduanya. Kalau tidak hancur lebur, ya setidaknya pada Pilkada kali ini dia kehilangan banyak suara. Tapi ternyata saya keliru. Pasha Ungu yang berpasangan dengan Hidayat ini justru memang mutlak dari lawan-lawan politiknya.
Fenomena ini tentu akan jadi kajian menarik untuk diteliti. Sangat boleh jadi, fakta ini nantinya bakal jadi bahan yang sangat layak untuk desertasi para kandidat doktor politik di tanah air. Walaupun, kecenderungan seperti ini di ranah yang berbeda, sudah menjadi hal biasa.
Misalnya, kampanye larangan merokok dengan mencantumkan daftar penyakit mematikan di bungkus rokok yang tidak kunjung membuat penikmatnya menghentikan kebiasaan merokok. Bahkan terkini, "black campaign" anti rokok ini sampai mewajibkan produsen rokok menyantumkan foto-foto "menjijikan" para korban nikotin yang sampai berlubang tenggorokannya, paru-paru menghitam yang hanya dibingkai tulang tengkorak dada penderitanya. Sampai foto seorang ayah merokok sambil menggendong bayi, yang harusnya perlu diperdebatkan lagi, apakah penyantuman foto bayi seperti itu diperbolehkan secara etika.
Lantas apakah perokok menjadi berkurang dengan kampanye dan penyebaran foto-foto mengertikan seperti itu? Anehnya justru tidak. Penikmat rokok, berdasarkan survei-survei justru meningkat tajam. Makin banyak perokok pemula di kalangan remaja dan anak-anak yang malah penasaran ingin mencoba.
Kampanye serupa, yang awalnya untuk mencegah masyarakat mendekati lokalisasi, dengan memasang pengumuman besar-besar di depan jalan masuknya: "Dilarang Melakukan Tindak Prostitusi di Kawasan Ini" justru membuat warga yang sebelumnya tidak tahu dan juga malu bertanya arah jalan masuk ke tempat "begituan", jadi tahu. Menjadi makin semaraklah lokalisasi dengan penikmat-penikmat baru.
Saya sampai kepikiran begini, ketika jagat infotainment dihebohkan dengan kasus prostitusi online yang melibatkan artis-artis ternama, harusnya para artis yang memang memiliki usaha sampingan melayani "kepuasaan" penggemar rahasia mereka, tidak mencak-mencak. Karena sesungguhnya ini iklan gratis yang menguntungkan. Karenanya tidak perlu memasang iklan mahal-mahal di koran kuning, atau iklan televisi di waktu-waktu primetime.
Ketika wartawan mengkonfirmasi, akui saja, kalau perlu sambil menyebutkan tarif yang lebih mahal dari tarif aslinya. Sehingga ketika ditelepon pejabat atau pengusaha yang mau ngajak ngamar, mereka tidak perlu berpanjang negosiasi harga. Cukup bilang: "Anda pernah nonton tv 'kan. Nah, tarif saya segitu, tidak kurang tidak lebih. Titik."
Tidak perlu malu. Toh, Ariel Peterpan yang kini jadi Ariel Noah tetap tidak kehilangan penggemar walau video "ah-uh"nya bersama Luna Maya dan Cut Tari mendunia. Malah, jangan-jangan sekarang, banyak wanita, terutama yang berduit, penasaran sambil mengkhayalkan rasanya bersama Ariel. Tinggal Anda, berani atau tidak berjudi dengan nama baik. Kalau berani, tak ada salahnya dicoba. Terutama bagi yang lima tahun mendatang mencoba peruntungan di dunia politik.
Anda tinggal menyebar-nyebarkan aib sendiri, dengan harapan rakyat bersimpati karena menganggap Anda telah di-blackcampaign-kan musuh politik dan harus dikasihani. Tapi, apakah Anda pasti akan seberuntung Jaya dan Pasha. Atau jangan-jangan Anda bunuh diri sekaligus menggali kuburan sendiri. ()
Thursday 3 December 2015
Jepit Testis dan Bawang Putih di Anus
Monday 19 October 2015
Juara itu harusnya Cuma Satu, Tapi…
TADI malam turnamen sepakbola piala presiden 2015 resmi berakhir. Sebagai juaranya Persib Bandung. Disusul di tempat kedua, yang biasa disebut sebagai juara kedua Sriwijaya FC. Pada pertandingan sebelumnya, atau pertandingan sehari sebelumnya, memperebutkan posisi 3 dan 4, berhadapan Arema Cronous melawan Mitra Kukar, yang menjadi satu-satunya asal Kalimantan yang selamat hingga fase semifinal.
Pada malam itu, pertandingan dimenangkan Arema dengan skor cukup telak 2-0. Karenanya kesebelasan asal Kota Malang Jawa Timur itu berhak mendapatkan gelar juara tiga dan menerima pengalungan medali (mungkin) perunggu. Dan ternyata, Mitra Kukar juga dianugerahi pengalungan medali. Entah berbahan apa. Kali ini memang sedikit istimewa, juara empat, yang harusnya tidak masuk hitungan juara itu, juga mendapatkan pengalungan medali. Ya, mungkin ini untuk melipur rasa kekecewaan saja. Juara empat masih dapat penghargaan dari panitia.
Tapi apa benar klub yang berada di posisi keempat saja yang harus diselamatkan dari rasa kecewa. Bagaimana dengan posisi kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya. Bahkan jauh sebelum turnamen piala presiden di mulai, mungkin juga ada digelar babak-babak kualifikasi, sehingga klub yang ikut turnamen, yang disebut-sebut sebagai kebangkitan persepakbolaan Indonesia yang saat ini masih dibayangi sanksi dari FIFA itu, juga bukan klub sembarangan. Mereka yang tidak lolos kualifikasi, juga harus tersingkir sebelum masuk ke pertandingan sebenarnya dalam turnamen. Mirip-mirip piala dunia-lah, yang pertandingan kualifikasinya pun sudah dibuat heboh begitu rupa.
Bagi klub yang tersingkir jauh sebelum turnamen dimulai, pastilah juga menyimpan kekecewaan. Sudah melakukan berbagai persiapan, eh baru bertanding sudah ketemu lawan berat dan langsung keok. Bagaimana tidak merasa kecewa. Seperti halnya nasib yang dialami Martapura FC yang harus berada di grup “neraka” bersama Persib Bandung dan Persebaya yang di tengah kompetisi mengubah namanya menjadi Bonex FC. Kekecewaan ini tentu harus juga dipikirkan oleh panitia. Kalau juara empat, yang sebenarnya juga tidak bisa disebut juara ini diberikan medali yang juga entah terbuat dari bahan apa untuk menyebutnya selain medali emas, perak, perunggu. Maka mereka yang terhempas di awal-awal kompetisi juga diberikan “kasih sayang” serupa biar adil.
Menurut sejarahnya, medali ini dimaksudkan untuk mewakili nilai-nilai Olympisme: Persahabatan, kehormatan, dan keunggulan dalam menghormati lawan. Bagi para pemenang, medali adalah simbol abadi kerja keras, latihan, ketahanan, sportivitas, dan kemuliaan tertinggi bagi dirinya sendiri dan bagi negaranya. Dan herannya, para pemenang Olimpiade Yunani kuno ternyata juga tidak mendapat medali sama sekali. Kecuali sebuah karangan bunga zaitun diletakkan di atas kepala sang juara. Peringkat kedua dan ketiga tidak mendapatkan apa-apa.
Barulah pada tahun 1896, tahun pertama Olimpiade modern digelar, hanya juara pertama dan kedua yang diakui. Karena perak dianggap lebih berharga ketimbang emas pada waktu itu, pemenang pertama dianugerahi medali perak dan sebuah mahkota dari cabang bunga zaitun. Para atlet yang menduduki peringkat kedua mendapatkan medali perunggu dan mahkota laurel. Setiap atlet yang berpartisipasi dalam Olimpiade menerima medali kenang-kenangan.
Pemberian medali kepada tiga pemenang teratas pertama kali diperkenalkan pada tahun 1904. Pada tahun yang sama, medali perak untuk juara pertama digantikan dengan medali emas. Medali emas pertama terbuat dari emas murni dan diberikan sampai tahun 1912. Namun saat ini, medali “emas” sebenarnya terbuat dari sterling silver yang dilapisi dengan lapisan tipis emas murni.
Dan kalau boleh kasih saran, kenapa tidak semua peserta saja diberikan medali dan penghargaan, seperti yang pernah terjadi di tahun 1896. Agar siapapun yang ikut pertandingan bola tidak jera dan merasa kecewa. Mungkin kedengarannya agak aneh, semua peserta mendapat medali. Tapi tak usah heran, awalnya gelar juara-juara selain juara satu juga terkesan aneh, sebab, kalau menilik kata kamus, juara itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang keluar sebagai pemenang, juara satu, sang juara, peserta terbaik. Dan yang namanya terbaik itu, awalan ter- adalah untuk mengartikan sesuatu yang tanpa banding. Tak mungkin ada yang ter- untuk posisi kedua, tertiga, dan belakangan ada lagi yang terempat. Kalau mau, sekalian aja dibuatkan juara sampai 10, atau yang mendapatkan gelar tersepuluh.
Saya teringat dulu waktu bersekolah SD, demi memotivasi siswa untuk terus berprestasi di kelas, pihak sekolah kemudian membuat semacam kompetisi, mereka yang memiliki nilai terbaik, maka dia berhak mendapat gelar juara satu. Bagi yang memiliki nilai dibawahnya, menjadi juara dua, tiga dan seterusnya. Waktu itu sampai dibuatkan juara harapan satu dua, tiga, untuk mereka yang memperoleh prestasi di tingkat keempat, lima dan enam. Bedanya dengan juara satu dua dan tiga, mereka yang berada di posisi 4, 5, dan 6 ini hanya maju ke depan kelas dan tidak mendapatkan bingkisan berupa buku dan peralatan sekolah dari kepala sekolah seperti halnya juara satu, dua dan tiga.
Bagi yang juara satu, dua, dan tiga pun, dari segi jumlah hadiah juga dibedakan. Kalau juara satu mendapatkan paling banyak hadiah, buku sampai 12 lembar atau satu lusin, dengan tambahan pulpen, pensil dan penghapus, juara kedua bukunya tinggal setengahnya, hanya sekitar enam lembar, dengan pensil dan pulpen, sedangkan juara tiga, bukunya tinggal 4 lembar dengan alat tulis hanya pensil dan penghapus. Sementara, juara harapan satu, dua dan tiga, hanya dapat tepuk tangan dan salaman dengan kepala sekolah. Dengan tepuk tangan pun saya sebenarnya ragu memastikannya, apakah itu untuk mereka yang bertiga terakhir itu, atau jangan-jangan tetap untuk sang juara. Perhatian pun, saya kira, hanya tertuju untuk sang juara. Semua mata akan tertuju penuh ke arah sang juara, bahkan mungkin tidak untuk juara dua dan tiga, apalagi cuma harapan satu, dua, maupun tiga. Paling-paling orang tuanya yang masih menyisakan sedikit rasa bangga, bahwa anaknya nyaris saja mendapat bingkisan alat tulis.
Itu artinya, juara itu sebenarnya hanya satu orang, seseorang yang benar-benar keluar sebagai pemenang dalam berbagai kompetisi. Tengoklah lagi definisi dari juara, baik yang tertera dalam kamus bahasa Indonesia, maupun dalam terjemahan Wikipedia.
Dalam kamus bahasa Indonesia, juara diartikan sebagai orang (regu) yang mendapat kemenangan dalam pertandingan yang terakhir; 2 orang yang gagah berani; orang yang pandai bersilat; pendekar; jagoan; 3 pengatur dan pelerai dalam persabungan ayam; 4 pemimpin peralatan (pesta dan sebagainya); 5 ahli; terpandai dalam sesuatu (pelajaran dan sebagainya)
Sedangkan dari versi wikipedia, juara adalah seseorang maupun kelompok yang telah memenangkan turnamen, kompetisi, liga, Olimpiade, atau kontes dalam bidang tertentu (misal bidang seni, kesenian, olah raga, menyanyi, ataupun iptek dan sains, dan lain-lain). Seseorang atau tim dapat menjadi juara di tingkatan yang berbeda, dan gelar juara sendiri diberikan pada pemain terbaik.
Dari sini kan jelas, kalau sang juara itu adalah mereka yang menjadi pemenangnya, bukan juara-juara lainnya yang berada di bawahnya, satu-dua tingkat dan seterusnya. Kalaupun panitia menyiapkan medali lainnya, biasanya perak untuk juara dua, perunggu untuk ketiga, dan (mungkin) alumunium untuk juara empat dan seterusnya, semata-mata hanyalah untuk mengobati rasa kecewa saja. Harusnya jangan tanggung-tanggung, sekalian saja dipikirkan gelar-gelar lainnya untuk mereka yang kurang beruntung. Teladanilah kompetisi serupa seperti pemilihan putri Indonesia. Ada banyak gelar diberikan untuk mereka-mereka yang kalah cantik dengan sang putri terpilih. Ada yang menjadi puteri Indonesia Lingkungan, ada yang bergelar putri Indonesia Pariwisata, ada puteri dengan kostum terbaik, pinggul terseksi, galungan sanggul yang futuristik, dan lain-lain.
Juara keempat, kelima, dan keenam, kita semua sudah paham. Mereka otomatis digelari juara harapan 1, harapan 2, dan harapan 3. Bagaimana dengan juara ketujuh, delapan, dan sembilan? Cari saja istilah lain seperti halnya “harapan” tadi. Misalnya, impian. Jadi, mereka yang hanya berhasil mendapatkan posisi di urutan ketujuh, kedelapan, dan sembilan, berhak mendapat gelar juara impian 1, impian 2, dan impian tiga. Begitu seterusnya, sampai (kalau diperlukan) ada yang bergelar juara khayalan 1, khayalan 2, dan khayalan 3, hehehe…
Sehingga ketika pulang ke daerahnya masing-masing, dalam jumpa pers dihadapan wartawan disaksikan kepala daerah, mereka masih bisa berbangga. “Alhamdulillah, kami berhasil mendapat medali plastik dan memperoleh gelar juara impian satu". Atau begini: "Kami bersyukur, masih bisa mendapat gelar sebagai juara khayalan satu, dan berhak membawa pulang medali dari batu akik".
Wartawan pun jadi enak membuatkan narasi dan judul beritanya; "Warga Provinsi Anu Bawa Pulang Medali Plastik". Pada sub judul ditulis: " Juara Khayalan Satu Turnamen Anu". Sehingga dalam setiap kompetisi tidak seorang pun yang merasa kalah, kecewa karena tidak mendapat gelar juara. Uang yang diberikan saat mendaftar pun terasa tidak sia-sia, sebab toh oleh panitia juga akan dikembalikan dalam bentuk medali-medali itu dan hadiah berupa uang pembinaan tentunya. Walaupun jumlah dan besaran nilainya tidaklah sama dengan yang menjuarai satu dua dan tiga.
Dari segi keamanan juga sangat bermanfaat. Karena semua happy mendapat gelar juara, maka tidak ada sporter yang merasa kecewa, terus tawuran dan membuat kerusuhan di dalam stadion, atau menembak-nembakkan laser kearah mata penjaga gawang lawan, sebab toh, klub kesayangannya pasti juara, entah juara apa dan apa.
Lagi pula begini, tujuan dari setiap pertandingan itu kan, terutama olahraga, kadang juga tidak untuk memilih siapa yang terbaik, tapi nilai persahabatannya. Dan ini yang lebih penting ketimbang juara-juaraan, pertandingan untuk mempererat persahabatan, bukan untuk gengsi-gensian, apalagi untuk taruhan. Disadari ataupun tidak, semua itu bergeser dari tujuan awal digelarnya sebuah kompetisi.
Apalagi dalam kompetisi olahraga, olahraga sendiri kan untuk kebugaran tubuh. Bagi siapapun yang melakukannya, diharapkan akan mendapatkan tubuh yang bugar, sehat jasmani dan rohani. Kalau semua orang sudah mendapatkan kesehatan jasmani dan rohani dari Tuhan, apakah ada yang lebih besar nilainya dari kesehatan itu. Apa enaknya, apa hebatnya juara tapi tidak sehat. Juara tapi kaki atau tulang rusuk patah, otak gegar akibat tawuran di tengah lapangan, atau sampai kehilangan organ tubuh segala. Saya lebih memilih, mending lari-lari kecil untuk berolahraga dan mendapat kesehatan sebagai bentuk juara dari Tuhan, daripada gelar juara dari manusia namun mengecewakan orang lain. Begitu menurut saya. ()